Rabu, 07 November 2007

CULTURAL STUDIES (Sebuah Telaah tentang Kemunculan Cultural Studies dalam Ranah Kajian Komunikasi Massa)


Oleh: Enik Sulistyawati

Cultural studies merupakan kritik khas Inggris terhadap budaya kontemporer di dalam marxisme Barat. Cultural studies memiliki akar interpretasi marxis mengenai masyarakat dan telah berhasil dengan baik melalui aksesnya dalam berbagai interpretasi kesusastraan (histories) dan antropologis yang akhirnya melahirkan berbagai perdebatan terus-menerus pada masa pascaperang dunia II. Perdebatan tentang kajian ini telah dimulai pada 1961 lewat pergulatan tentang arah sejarah budaya dan ulasan Thompson atas The Long Revolution dalam New Left Review yang berada di bawah kepemimpinan editor Stuart Hall.

Cultural studies pada akhirnya menjadi suatu kajian yang mendeskripsikann tentang segala fenomena masyarakat kontemporer seperti yang nampak pada budaya pop, media, sub-culture, gaya hidup, konsumerisme, identitas lokal, dan sebagainya, yang mana media dan praktiknya diposisiskan di dalam totalitas ekspresif yang kompleks dan menggunakan perspektif holistik yang bersifat makro sebagai kondisi yang mendasari sosiologi budaya. Fenomena kontemporer ditandai oleh menguatnya budaya massa melalui media komersil, khususnya televisi. Selain itu, masyarakat yang ditandai perkembangan teknologi komunikasi berikut perkembangan mutakhir kehadiran media-media baru, terbentuknya masyarakat informasi serta isu globalisasi juga merupakan gejala fenomena masyarakat kontemporer.

Dari segi disiplin ilmu, cultural studies sering disebut sebagai wilayah kajian lintas-disiplin, multi-disiplin, pasca-disiplin, atau anti-disiplin. Seringkali yang dimaksud dengan ‘lintas’, ‘multi’, ‘pasca’, atau ‘anti’ tersebut merupakan sebuah fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antar-disiplin. Semua ini tentulah baik adanya, karena (dari sudut pandang nominalis) ‘disiplin’ sebenarnya hanyalah merupakan istilah untuk melegitimasi dan melembagakan metode dan medan minat sebuah kajian. Namun yang sering luput dan tidak hadir dalam perbincangan tentang lintas-disiplin dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora adalah bahwa gagasan lintas-disiplin dalam cultural studies juga melibatkan gagasan tentang perlintasan antara teori dengan tindakan. Inilah pokok permasalahan sebenarnya yang membedakan cultural studies dengan displin lainnya, yaitu hubungan cultural studies dengan berbagai persoalan kekuasaan dan politik, dengan keinginan akan perubahan dan representasi dari dan ‘untuk’ kelompok-kelompok sosial yang termarginalisasi, terutama kelompok kelas, gender dan ras (tetapi juga kelompok usia, kecacatan, kebangsaan, dsb). Cultural studies merupakan bangunan teori yang dihasilkan oleh pemikir yang menganggap produksi pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik politis. Di sini pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai fenomena netral atau obyektif, melainkan sebagai persoalan posisionalitas, persoalan dari mana, kepada siapa dan dengan tujuan apa seseorang bicara. Memang benar bahwa sifat lintas-metode dan lintas-medan minat bisa dilihat sebagai sebuah ciri cultural studies yang menonjol, namun pertanyaan tentang peran intelektual sesungguhnya merupakan persoalan yang lebih pokok dalam cultural studies.

Dengan demikian, kemunculan cultural studies dalam ranah komunikasi massa bukanlah merupakan suatu hal baku yang hanya berkutat pada media dan dampaknya sebagaimana wacana komunikasi massa pada umumnya, melainkan merupakan suatu kajian mutakhir pada era postmodern yang membahas mengenai isu-isu kontemporer komunikasi dari perspektif cultural (yang akhirnya juga melibatkan perspektif marxian dengan berbagai fenomena pertarungan ideologi di dalamnya, perspektif fungsional dan pandangan postrukturalis) yang diposisikan sebagai fenomena komunikasi. Bagi kajian komunikasi massa, cultural studies merupakan sebuah pandangan alternatif dari perspektif ilmu komunikasi yang telah ada selama ini, yang dapat memperkaya sudut pandang para peminat komunikasi dalam memahami realitas komunikasi dan kebudayaan sebagai hal yang saling berkaitan. Selain itu, cultural studies ingin memainkan peran demistifikasi, untuk menunjukkan karakter terkonstruksi teks-teks kebudayaan dan berbagai mitos dan ideologi yang tertanam di dalamnya, dengan harapan bisa melahirkan posisi-posisi subyek. Sebagai sebuah teori yang politis, cultural studies diharapkan dapat mengorganisir kelompok-kelompok oposisi yang berserak menjadi suatu aliansi politik kebudayaan. Sedangkan dari segi metode penelitian komunikasi, cultural studies ingin memperkuat posisi etnografi, pendekatan tekstual (semiotika dan teori narasi) serta kajian-kajian resepsi/konsumsi sebagai suatu metode yang lebih relevan untuk diterapakan dalam ilmu sosial.

FENOMENA music televisions (MTV)

dalam perspektif cultural studies

Dahulu, radio merupakan teknologi yang menyatukan masyarakat di muka bumi,namun sekarang posisi tersebut telah diambil alih oleh televisi. Benda berbentuk kubus yang baru-baru ini hadir dengan tampilan flat-nya yang lebih langsing, berhasil membuat apa yang terjadi di satu sudut bumi mampu disaksikan di sudut bumi lain pada waktu yang sama. Proses akselerasi komunikasi semacam ini tentu saja amat membantu proses globalisasi cultural yang mendominasi teknologi komunikasi dan kapital internasional ke bagian negara-negara dunia ketiga. Hal ini akhirnya menimbulkan suatu komunikasi satu arah dan globalisasi yang juga satu arah di negara dunia ketiga.

Music Televisions atau yang lebih akrab di telinga kita sebagai MTV merupakan sebuah contoh fenomena cultural studies yang amat representatif. Secara konseptual, MTV merupakan sebuah gebrakan dalam dunia show biz, yang telah membuat ranah iklan produk Barat (terutama Amerika) menjadi lebih menarik dan kental dengan nuansa enterntainment yang diracik dengan format infotainment musical.

MTV adalah salah satu media global paling terkenal dan berhasil. Dalam perjalanannya selama 20 tahun ini, MTV memang telah mengubah budaya dunia. Trend yang berkembang sekarang seperti tidak dapat terlepas dari pengaruh yang ditularkan MTV. Saking mengglobalnya budaya pop yang diusung MTV, hingga anak-anak di kampung pun ketularan. Ya, musik ternyata tidak sekadar hiburan, tapi sudah berubah menjadi gaya hidup. Bahkan dewasa ini, MTV tidak terbatas pada soal musik, tapi juga mulai memproduksi film teaterikal, game show, dan penghargaan bagi dunia hiburan dalam berbagai manifestasinya. Ya, selain menghadirkan video klip musik, MTV juga telah meluncurkan game show semacam Singled Out, film-film seperti Selebrity Deadmatch dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa MTV ingin menerobos masuk dan membangun identitas baru bagi pemirsanya.

Menyaksikan MTV di televisi Indonesia yang berpusat di Jakarta makin menguatkan argumen bahwa Jakarta sebagai kota metropolis yang rawan dengan pengaruh modernitas, memang berusaha keras untuk menjadi penentu selera pop culture bagi masyarakat Indonesia. Kedudukannya yang strategis dimana terdapat pusat pemerintahan dan bisnis, membuat kota ini merasa apapun yang ditayangkan di layar televisi Indonesia merupakan hal yang baik dan perlu (terutama program televisi dari luar negeri). Namun kecenderungan Jakarta yang hanya berorientasi pada Amerika telah merugikan Indonesia. Acara hura-hura musik yang ditampilkan MTV secara terus-menerus yang bersifat globalisasi budaya dan kapitalisme barat tidak lebih penting daripada acara dokumentasi ilmu pengetahuan, sejarah, politik, seni dan budaya semacam National Geographic. Apalagi posisi Indonesia sebagai negara dunia ketiga, Indonesia lebih memerlukan asupan gizi tayangan yang bermutu daripada acara yang hanya hura-hura semata semisal MTV. Profesor Robert Thompson, pengajar di Syracuse University, yang menonton dan menganalisis TV bagi kehidupan manusia, mengatakan bahwa MTV membidik kelompok masyarakat yang khusus dan memberi mereka identitas. Ketika MTV hadir, industri benar-benar berubah. Tiba-tiba musik tidak lagi sekadar suara yang bagus, tetapi juga yang terlihat bagus.

Ukuran-ukuran modern bagi generasi muda saat ini adalah gaya hidup yang nge-pop, atau yang sering disebut generasi MTV, dengan deklarasi singkat pada 1 Agustus 1981 di negara asalnya, Amerika Serikat. Gaya hidup ini ditandai dengan pergaulan yang cenderung bebas, penuh hura-hura, dan funky. Penghormatan terhadap seseorang di kalangan anak muda sekarang ini tidak lagi diukur dari kualitas dan kemampuannya, sebagai misal intelektualitasnya, tetapi diukur dari aspek materi yang selalu bercirikan gaya hidup yang hedon.

Dewasa ini telah muncul wacana intelektual populer di Indonesia, yakni Cultural Studies. Istilah ini dipopulerkan oleh berbagai media cetak di Jakarta. Namun, apa yang disajikan koran-koran tersebut malah terkesan ironis. Studi budaya yang harusnya diusung Cultural Studies malah diasumsikan sebagai sejenis pleidoi (pembelaan) atas budaya. Berbagai sinetron Indonesia yang hyperreality disebut-sebut mewakili realitas dalam masyarakat, sedangkan musik dangdut yang sangat merakyat justru dikatakan sebagai candu rakyat miskin. Para pakar Cultural Studies di Indonesia seakan-akan menutup mata untuk membicarakan konten lokal dari budaya pop Indonesia versi mereka tersebut, namun hanya membahas form secara terus-menerus, padahal tipu daya neoliberalisme dan neokapitalisme tidak serta-merta tampak dalam wujud fisik yang kasat mata.

Pengaruh budaya pop Amerika menjadi komponen penting dalam pembentukan budaya pop Indonesia. Akibatnya, para remaja Indonesia semakin banyak yang tercemari bahasa asli mereka dengan istilah-istilah semacam cool, funky, dsb. yang mereka anggap sebagai ‘bahasa gaul’ yang pemahamannya kadang memprihatinkan. Banyak yang hanya asal comot dalam mengadopsi budaya luar. Kebanggaan memakai istilah ‘gaul’, kepercayaan diri mengenakan T-Shirt bertuliskan FBI, dan sebagainya tanpa mereka ketahui sesungguhnya apa arti di balik semuanya itu. Pokoknya, West is the best! Sebagaimana celetuk Jim Morrison, rocker Amerika dalam lagunya.

Sedangkan dari segi hermeneutika, fenomena MTV di Indonesia merupakan sesuatu yang unik. Yakni mengemas musik dalam berbagai macam. Namun yang sangat disayangkan, varian yang dikemas dalam MTV tersebut tak satupun ada yang menyentuh sisi Indonesia. Misalnya, musik dangdut yang banyak diminati berbagai kalangan di Indonesia. Sehingga kesan unik dari segi keberagaman budaya juga belum terpenuhi untuk negara dunia ketiga seperti Indonesia.

2 komentar:

M. Abdurrahman Dzakiy mengatakan...

Assalamu'alaikum warahmatullah, ...
Kunjungan balik niiih ^_^, maaf baru sekrng mbalasnya. Sebelumnya terima kasih dah mampir ke kolong dapur (kolongdapur.blogspot.com). 'Afwan juga kalo ukhtinya sempet heran karena identitas saya yang beda. Hex5.
Saya kapok "dipencundangi" orang dan biar ga' terulang lagi saya ya milih "menyamarkan diri". :D

Luqmanul Karomah mengatakan...

ini tugas kuliah ya nek???

http://www.sebuahsenyum.co.cc/